Saturday, July 27, 2013

Benarkah Bangsa Viking Penemu Amerika?

Apa yang sobat Penghuni 60 bayangkan jika kalian mendengar kata “Viking”. Pasti yang ada dibenak kalian sebuah bayangan sosok pejuang yang mengenakan helm perang yang bertanduk. Perampok dan pelaut ulung yang ditakuti dan terkenal kejam. Mungkin seperti itulah kira-kira yang akan muncul dalam bayangan kalian.

Namun perlu diketahui, bahwa Bangsa Viking itu sebenarnya tidak seperti yang kalian bayangkan dan yang sering digambarkan saat-saat ini. Penggambaran Viking yang identik dengan helm bertanduk itu adalah salah. Dan ini jadi stigma soal bangsa Viking.

Nyatanya, helm bertanduk hanya digunakan pada periode-periode awal dan khusus saat melakukan upacara keagamaan mereka saja. Jadi, ketika berperang dan menjelajah laut, helm mereka biasa saja tanpa tanduk yang mengerikan.

Benarkah Bangsa Viking Penemu Amerika?

Bangsa Viking memang dikenal sebagai kaum penakluk di dataran Eropa sekitar abad ke-8 hingga 11 Masehi. Battle of Hasting di tahun 1066 tercatat dalam sejarah sebagai perang besar terakhir bangsa ini - walau tak menutup kemungkinan ada perang lain bila bukti arkeolog ditemukan. Selama periode tersebut, mereka memang menjadi pelaut-pelaut ulung. Banyak kisah yang menggambarkan kekejaman mereka ternyata penuh bumbu dongeng belaka. Meskipun menjarah dan membumi-hanguskan banyak desa, bangsa Viking juga terlibat dalam misi perdagangan termasuk bermukim di tempat-tempat baru. Mulai dari Inggris, Skotlandia, Irlandia, Normandia hingga Islandia.

Ada satu fakta yang bisa merubah paradigma kita, sehubungan dengan Amerika. Banyak bukti arkeolog ditemukan bangsa Viking 500 tahun lebih awal menginjakan kaki di Amerika dibanding Columbus.

Benarkah Bangsa Viking Penemu Amerika?

Pada tahun 986, Bjarni Herjolfsson meninggalkan perkampungan Viking di Norwegia dengan tujuan Islandia. Ia medengar cerita bahwa ayahnya yang pergi lebih dahulu dengan rombongan pelaut yang dipimpin Erik The Red dan berhasil mencapai sebuah wilayah yang hijau dan subur, disebut Greenland.

Bjarni mulai berlayar saat musim dingin tiba. Cuaca buruk dan berkabut menghempas kapalnya hingga jauh dari tujuan. Sampai akhirnya ia berhasil menemukan daratan, tapi berbeda dengan cerita yang didengarnya. Daerah ini bergunung-gunung. Akhirnya ia melepas sauh lagi dan berlayar menuju Timur sampai akhirnya mencapai Greenland dan bertemu koloni Erik The Red.

Putra Erik, Leif Eriksson tertarik dengan kisah Bjarni. Apalagi saat musim dingin di Greenland sangat susah mencari kayu.

Sementara Erik berkata, pulau yang pernah dikunjungi saat tersesat lebih hijau dan alamnya lebih bersahabat.

Dengan kapal milik Bjarni, Leif mengajak 35 orang bersamanya berlayar mencari pulau yang dikisahkan tersebut. Akhirnya Leif dan rombongan berhasil mencapai Pulau Baffin (Kanada bagian Timur Laut). Tapi tempat ini banyak gletsyer. Lalu mereka berlayar lebih jauh hingga mencapai pantai berpasir putih yang indah. Di sinilah mereka berlabuh, dan menamakan tempat tersebut Marklandia (The Forest Land).

Rombongan Leif terus menjelajah wilayah tersebut sampai menemukan tempat terbaik untuk membangun koloni, yang akhirnya dinamai Vinlandia (The Wine Land) karena salah seorang anggota rombongan menemukan pohon anggur. Sayangnya, setelah beberapa waktu, koloni tersebut kembali pulang ke Greenland.

Kisah ini sempat menjadi misteri selama berabad-abad. Sampai di tahun 1960 dan 1970-an para arkeolog menemukan reruntuhan rumah di Newfoundland (L'Anse Aux Meadows village). Mereka juga menemukan artefak-artefak berbahan logam yang diperkirakan berasal dari tahun 1000 M.

Tahun 90-an, arkeolog juga menemukan artefak dari batu dan dikenali sebagai bagian dari peninggalan jaman Viking. Berbagai bukti ini semakin menguatkan bahwa bangsa Viking telah lebih dulu menginjakkan kaki di Amerika. Hanya tersisa pertanyaan yang masih membingungkan peneliti, mengapa Leif dan rombongannya tidak menetap di Amerika (Kanada) padahal alam di sana jauh lebih bersahabat dibandingkan dengan Greenland.




Signp60


(apakabardunia)

No comments:

Post a Comment